Rabu, 03 Desember 2014

Jalan Cilame

Baru saja sebutir kacang kedelai
        meluncur bergulingan
Sebelum roda seorang tukang becak
Menggilasnya pecah berserak

Becak tua langganan pedagang pasar lama
Kelupas catnya tersebab basuhan hujan garam
Juga keringat tangan para pelancong
        yang tak henti menunjuk bertanya:
Pada gudang begitu kumuh
Rumah berhantu separuh rubuh
Dan timbunan sampah wihara sebelah

Cilame seketika bagai museum terlupa;
Ibarat pencuri, sembunyi dari kejaran waktu
Menyelinap di gang-gang kecil
Menyamar tikus tanah, coro yang lemah
Atau ratap sedu seorang kuli bocah;
      lalai abainya disesali berkali-kali

Nanas-nanas dikupas sekenanya
Seperti kucing penuh kutu
Melompat dari keranjang ke keranjang
Menukik naik ke atap, mengincar remah ikan goreng
Lalu hinggap dalam catatan perjalanan;
Sekilas tinjauan mata
Dari satu wisatawan, atau wartawan amatiran

Seorang kakek penunggu warung
Melambai pelan padamu
Sambil menawarkan obat mujarab
Buat halau kepikunan usia renta

Tapi inilah cilame sekarang:
Sisa aroma kecap kedelai hitam
Yang meresap ke celah dinding
Menyusup hingga ke masa depan
Di mana tak seorang pun kuasa mengingatnya

2014
 
Telah dimuat di Koran Tempo, November 2014