Kamis, 26 Februari 2015

Sajak Pos

Siapa yang tahu surat ini dari siapa
Tak tertulis nama
atau pun gambar sebuah peta. 

Ia diletakkan di ujung meja
dan setiap temali, amplop
juga timbangan, bertanya
             itu untuk siapa? 

Cahaya yang menyentuh bangku
memantulkan bayang-bayang
sebuah kota kelabu
dengan tawa anak-anak sekolah
langkah pilu seorang tua
dan gerimis di jalan-jalan
yang lengang dari hampa

Di manakah kota itu
di manakah bayang-bayang itu
yang kini tertutupi taplak meja? 

Mungkin surat itu
berasal dari situ.
Terbang melalui cermin cahaya
menembus dinding dan jendela
dan mengabarkan berita
                             dari negeri
yang bukan milik siapa-siapa

Seandainya di sana
tertulis sebuah nama
tak akan ada yang bertanya
surat itu dari mana. 

Setiap kali setitik debu hinggap
pada amplop putih itu
seekor ngengat
yang terbang berputar
                             terjatuh
menyentuh lantai dingin
lalu tersapu angin
jadi debu yang lain 

Dan semua benda kemudian bertanya,
                                untuk apa ia ditulis?

2009
 
Telah dimuat dalam Antologi Festival Ubud Writers and Readers Festival 2010
Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Kuil Taman

Sebatang pohon ara, empat pina
                           tiga pohon abu
Inilah kuil taman puingmu 

Segala yang silam, dirimu yang lalu
terperangkap dalam liang gua
pada sebuah buku yang terbuka
                             di perpustakaanmu

Dulu pernah ada semak buah beri
di mana seekor musang menyelinap
bersembunyi dari tangan mungil sang waktu
                      tubuhnya ringan menyelusup
jauh hingga ke pucuk bayang sehelai daun
Dan pada pukul enam sore
semuanya lindap bagai kata-katamu
bagai cahaya di belantara raya
tersamar pekik liar burungburung malam

Sebelum dini hari di bawah mimpi pohon kastanye
siapa dari kalian yang menyamar bajak laut arabia
menghunus belati kayu, membuka semua pintu
mencari jalan rahasia menuju dongeng yang lain: 

Kisah tentang sebuah kota di mana benda-benda
selalu bercerita darimana muasal mereka 

Atau tentang benua yang perlahan tenggelam
dan orangorang terlambat menuliskan namanya di sana 

Tapi seekor kucing yang lelap di teras rumah
sekilas tampak terjaga, memandang kalian
mengeong seakan tengah mengigau
Cakarnya yang tumpul
tadinya membias cahaya bulan yang entah 

Kini tak ada ayunan di kuil taman puingmu
tak ada sarang burung yang terjatuh
menyimpan telur-telur yang sebentar akan menetas
 
Telah dimuat di Kompas, Maret 2010

Juanda

Angin bulan januari
Menuntunku sesat
Lagi-lagi dalam linang waktu

Menunggu engkau di situ
Dengan kerudung biru, merah jambu
Atau mungkin hijau kemarau 

Tataplah diriku, sekian lampau lalu
Gelisah memintas hari
Mencari semi kenangan sepanjang musim
Dan duka cita yang gugur berulang dalam kecupan 

Keretamu lewat berangkat
Di stasiun, peron bergegas senyap
Menemani rasa hampaku yang sia-sia 

Tataplah diriku, sisa-sisa keriangan
Yang disemai badai bulan januari
Merekahkan harapan, yang kutahu
Mungkin tak akan bersemi lama

2014

Telah dimuat di Harian Indopos, Maret 2014

Kalau Marco Pulang

Kalau marco pulang, dia akan lihat:
Sekarang pohonan rindang di jalan-jalan weltevreden
Pesepeda mengayuh sisa waktu sebelum senja tiba lagi 

Ya, pohonan merindang di weltevreden
Tempat dulu tuan tanpa malu memandang
Pada gadis yang baru datang dari pasar
Malam kemudian,
Jadilah ia nyai yang kesekian 

Angin sepoi meniup gang-gang debu weltevreden
Tempat dulu kuli angkut, petani miskin
Pencuri, rampok, dan para cendikia
Ditahan bertahun-tahun
Sama rata, sama rasa

Kalau marco pulang, dia akan lihat:
Pesawat melintas di langit weltevreden
Melayangkan mimpi penyanyi jalanan
Melantun dari trem ke kereta
Dari bus sesak ke taman kota
Lari dari kejaran polisi juga lilitan piutang kehidupan 

Saudaraku, matahari masih sama di weltevreden
Terik menyengat mimpi-mimpi kami 

Di bawah pohon rindang sana
Anak remaja pacaran, curi-curi ciuman
 
2014
 
Telah dimuat dalam Antologi Negeri Poci 2014 'Negeri Langit'
Terinspirasi dari kisah Mas Marco Kartodikromo