Selasa, 11 November 2014

Tangan

Tanganku, apa yang selama ini sudah kau buat
Mengapa semua tidak bisa lagi kau ingat?
 
Mari ke sini, kita baca buku lagi. Berhentilah bikin puisi
tentang maut. Percayalah kita akhirnya akan abadi
 
Kenangkanlah genggam lembut jari kekasih
Yang membuatmu tak henti mengirimkan surat-surat
sajak-sajak dan pesan-pesan. Kau kirimkan padanya
seolah kau lebih cinta padanya. Daripada yang kutahu
 
Lebih liar, tanganku, bikinlah sesuatu yang lebih liar
Dari bulan gugur di musim gugur. Dari cermin hilang bayang
Buatlah aku takut oleh fantasimu
Mengayun melampaui mimpi demi mimpi
 
Mengapa kau cemas pada guratan nasib buruk
Nujuman penyihir tua sebuah sirkus waktu silam
Tidakkah kau lebih percaya padaku
Bahwa itu ramalan biasa, pelipur bagi mereka
                 yang kepingin mencuri masa depan
 
Tanganku, jangan kau abai dan ingkari aku
Kalau kau mati, aku tak mau
Aku tak siap kehilanganmu.
 
2014
 
Telah dimuat di Antologi Puisi Dari Negeri Poci (2014) dan Koran Tempo, November 2014

Sayur Buatan Ibuku

Sayur buatan ibuku
seperti sajak yang pernah kutulis

Aku perlu garam, ibu
kata-kata menghilang
tak mau jadi hujan
tak mau jadi sajak

Sayur buatan ibuku
mengingatkan tentang kamarku
jaring laba-laba
potret ayahku
sajak yang terselip
di bawah lemari

Aku tak suka terasi, ibu
derik jangkrik
mencuri sajak-sajakku:
sajak tentang bulan
tentang pohonan
atau jalan lengang
di sebuah kota

Aku perlu kata-kata
seperti bawang merah ini
seperti kau hambarkan sayur ini

Lalu adakah kecap di meja, ibu?
Sayur ini hambar
seperti sajak
yang pernah kutulis

2007
 
Merupakan puisi pertama yang ditulis, meraih penghargaan Lomba Cipta Puisi Nasional Sampoerna-Agro 2007 dan dimuat di TEMPO tahun 2008

Aku dan Jiwaku

Aku dan jiwaku
berbaring berdampingan
Kami telanjang
          bagai dua kanak remaja
Kami saling menatap
          seolah lama tak berjumpa

Ia tampak lebih tua
waktu berlalu lekas baginya
Sedangkan aku serupa dulu
waktu telah lama berhenti
sebab ia bukan milikku lagi

Kemana kau akan pergi
bila akhirnya kita mati?

Jiwaku tersenyum diam-diam
Balik tanya hal sama padaku

Aku mau pergi ke bulan
dipuja penyair dan kekasih malam kasmaran
Atau datang ke lain dunia
               jadi tukang pos kesepian
tak jemu mengirim surat untukmu

Aku dan jiwaku
berbaring berdampingan
menanti pagi datang

Di luar maut menunggu
menyamar hujan semalaman
menyemai mawar-mawar duri
                       di taman-taman

Di taman-taman.

2014

Telah dimuat di KOMPAS, Maret 2014

Kasuari

Seekor kasuari mengembara
pada tenun yang belum selesai disusun
Ruhnya piatu, bagai menyusur rimba raya 
              mencari bulan yang dulu dikenang
Ketika terlahir sendirian, dikepung gigil malam
dan ibu mati diburu


Bertemu ia dengan kuda-kuda
liar berpacu dari sabana Sumba
Derap derunya serupa pekik moyang kami
melawan laju waktu, terasing dari masa lalu
Tak tercatat pada buku-buku sejarah ini


Kasuari merah pualam
pergi ke sungai tanpa muara
Seorang bocah mengarung arus
tawanya nyaring, mengandaikan diri bajak laut
Menyamar ikan-ikan bebatuan
Merompak mimpi segala perahu
yang karam sebelum sampai di Melayu,
Pesisir Madagaskar ataupun tanah janjian nun di mana


Pandang kasuari membayang
betapa ingin mengelana jauh
melampaui lembaran kain tenun
menuju hutan seberang pulau
bersarang di tengah kabut danau
memanggili kerdip bintang dan ruh para moyang
yang tak pernah menjenguknya barang sekali


Demikianlah saban malam
menyusur tenun yang belum usai itu
ia mencari rumah muasal yang dulu
entah di lembah mana, ngarai gunung yang mana


Sementara embun membasuhnya pelan-pelan
serupa air mata para dewata

2014

Telah dimuat di KOMPAS, Maret 2014

Wangaya

Bilamana maut dan aku
Berjalan bersisian di lorong-lorong rumah sakit
Perawat melintas lewat, menyembunyikan entah siapa
Di balik selimut pucat, di atas kereta mati itu

Dokter bertanya kabar
Tentang sekuntum bunga di kamar
Yang mengingatkannya pada biru laut kekasih gundah hati
Andai saja, ujarnya, rekahnya lebih semi dari usianya

Kukisahkan padanya
Tentang hujan yang semalaman menggenangi mimpi-mimpiku
Menenggelamkan setiap kenangan-kenanganku
Jauh hingga ke lubuk samudera
Di mana seekor gurita piatu menanti ajal di karang-karang

Dokter hanya tersenyum
Dijanjikannya padaku menyusur taman senja nanti
Seekor anak burung baru terlahir
Dan aku boleh beri ia nama

Di ruang tunggu,
Ada balita tersenyum padaku
Menggenggam tanganku, ingin riang hati denganku
Mainan di tangannya berputar
Seketika menjauhkanku ke masa yang dulu:
Pada ayunan di halaman belakang
Pada mawar melayu di kamar ibu
Dan sebuah gelas susu yang selalu tumpah dari tanganku

Gamang oleh nujum ingatan
Aku penuhi sukacitanya, berlarian di lorong-lorong
Mengejar laba-laba yang menuai sunyi waktu
Di antara jendela dan pintu kelabu

Di senja hari
Dokter menunjukan sebuah sarang di pucuk ranting
Aku menatap, seekor anak burung menanti induknya
Kuberi ia nama, seperti namaku

 2013
 
Telah dimuat dalam antologi tentang Denpasar, berjudul 'Dendang Denpasar, Nyiur Sanur', dikuratori Nyoman Darma Putra (2014)

Bukan Tanya

Seorang berkisah
atau berkeluh kesah
tentang bangunan yang runtuh
tentang tanah yang terbelah

“Nuh, di mana perahu kayumu
di mana sekoci
juga mimpi-mimpi kami?”

2008
 
Telah dimuat di Bali Post, 2008

Sajak untuk Televisi

Sebelum usai menit kelima
sebelum selesai acara
Pinokio tersedu
terjun ke laut
melambai ke arah tanjung
di mana sebuah balon biru
tersangkut pucuk ranting 

Anak-anak termangu
merasa kehilangan ibu

Ya, Pinokio tersedu
Seekor paus penyendiri
menghampirinya
        terkenang bening pandangnya
yang biru serupa langit biru
menyimpan air mata rahasianya

Sebelum usai menit kelima
ada gambar seorang penyanyi
memainkan nada hampa
         dengan linangan kata

Gadis-gadis tergoda
meniru tarian ikan kecil
yang berulang membenturkan diri
ke dinding akuarium
         di ruang tamu
          tempat anak-anak tersedu
          kehilangan dongeng ibu

Tak ada akhir untuk kisah ini
pinokio termangu
terkenang boneka kayu

Lalu perempuan jelita
sekilas melintas menawarkan wangi sabun
yang meniru harum rumputan

2008
 
Telah dimuat di Koran TEMPO, tahun 2008

Tentang Diwan

Diwan diwan diwan
bagaimana bisa kutulis
                    sajak seperti itu?

Aku tak punya tarian berputar
Yang kupunya hanya murung
                          yang berguguran
Kembali ke dalam igau yang mabuk
oleh anggur kesedihan.

Aku tak punya kekasih
                                 atau kehilangan
Yang kupunya hanya batu-batu
yang menjelma perih
ketika tangan menyentuh tidur
di beludru gaun
yang bukan dari masa lalu

Aku ingin berlari dari rumah
                       dan kota 
setengah gila
                       atau dalam kematian
               Tapi aku pun hilang
               seakan tak pernah ada!

Apalagi yang cukup untuk menulis?
Diwan diwan diwan
Cawan-cawan cinta
                    luluh oleh debu
Aku-aku yang senyap
                    terjatuh di jalan
                    yang tak mengenal siapapun

Tulis, tuliskanlah aku.
Tuliskan
seakan aku
                      memiliki siapapun!

2009
 
Telah dimuat di Bali Post, tahun 2009

Demam

Ke dalam rumi yang diri
ke dalam siapa yang demam:
tangkai mawar
kamar kamar riang
tangkai diri
batu di tangan
jadi debu-debu itu
jadi tangan penyuka cahaya
dan penyair baik hati melompati bulan

Rumi, rumi,
demam-demamku
mungkin cuma igau
tarian berputar
daun kurma yang berputar
semua jalan tertutup
untuk kita yang sekali
            waktu bertanya
apakah hari suka jadi malam

2008
 
Telah dimuat di Harian Jurnal Nasional, 2009

Armenia

Di manakah Armenia
sebuah negeri batu biru
dengan setetes air laut
berpendar di atas tali-tali lembu

Di dalam rumah bambu
ibuku menunggu
sambil membayangkan Armenia:
makam ayahku
yang tersamar bunga magnolia

Kolam warna warni
bekas peluru di segala penjuru
tangga jenjang
milik burung-burung beo bersuara merdu
Angan ibuku, angan kami
untuk tuhan yang tak bermalaikat

Memang tak ada lagi seteru di sana
hanya bau tanah
dan kisah orang mati
Lampu dermaga padam
tapi bukan di negeri itu

Di manakah Armenia
dan topi ayahku
Senyum tipisnya tersapu debu
Di laci ada surat kecil
sebuah salam pelaut dari Armenia.

2007
 
Telah dimuat di KOMPAS, Maret 2008

Agustus di Libanon

Seekor lalat melintas
di atas kota Labida
ia bertanya:
di mana Jerussalem
tempat ibunya dilahirkan.

Dari Beirut

seorang ibu yang pilu
payungnya tak basah oleh hujan
menyeberangi taman
mengigaukan anaknya
yang meninggal kemarin
di tengah puing dan suara jejak kaki.

Seandainya mereka bertemu

di Jerussalem atau di kota kecil di Israel
terlihatkah oleh mereka
debu-debu yang beterbangan,
sunyi di antara pilar bangunan:
seorang anak berdiri
di puncak menara
menjatuhkan buah apel
dan tangannya,
tangannya menirukan pesawat terbang

Tapi mereka tak pernah bertemu.

Mereka pergi sendiri.

2007
 
Telah dimuat di KOMPAS, Maret 2008

Lantai Atas Stasiun Gambir

Di menara tertinggi
kuingat sebaris sajak perancis.
Tapi tak ada wagon merah jambu
Atau gerimis
di atas jembatan tua
               di kota asing ini

Di menara tertinggi
kulihat kereta merah dan kuning
datang dan pergi
seperti sepasang kekasih
yang berpisah di jalan-jalan kecil
seperti kalimat penutup sebuah sajak
yang ditulis ragu-ragu di bangku tunggu:
sajak seseorang yang bunuh diri
sambil menyanyikan lagu
tentang taman hitam putih
Sepenggal sajak perancis
             yang kuingat
             selalu
             setelah hujan

Aku tak tahu
kerikil jalan di bawah menara
saling mengirim ungkapan:
selamat datang
atau salam berpisah yang sedih
atau pandangan cemas yang ragu
yang dihanyutkan hujan
hingga ke mari

Kusentuh jendela
dan malam semakin gelap
Tak bisa kubedakan
laba-laba atau bayang dindingkah
yang menari hampa, berputar
dalam gelas retak ini

Bayang-bayang mengaburkannya
menjauhkanku dari mereka

Di menara tertinggi
kubaca sajak Perancis
sambil memandang malam yang jauh

2007
 
Telah dimuat di KOMPAS, Maret 2008

Borneo

Pada sebuah majalah wisata
Di ketinggian langit pesawat
Kupandangi wajah murung seekor orangutan
Dan hijaunya tumbuhan kantong semar
Di mana lebah terbujuk maut yang kesekian kalinya

Aku menelusup ke dalam matanya
                             berada di rimba raya
Terasa sekali, aku bukan lagi siapa-siapa
Entah muasal, atau hendak ke mana

Dari gemerlap kunang-kunang pada anganku
Aku buat satu sekoci dan kuarungi sungai-sungai
Menembus lahan gambut, menembus sepi kabut
Menembus waktu yang menyesatkanku jauh kemari

Suara-suara menggema dalam rimba tak bernama
Alir sungai, bening sungai, membayang pandangku
Melamunkan wajah siapapun
Yang entah pernah kukenal
                               atau tak pernah kukenal :
Wajah para pelaut yang sunyi ditikam karam
Wajah para ibu yang tak henti menatap maut

Bila kusentuh bayang air itu
Kembali ia memantulkan malam semata
Hingga muncul lagi wajah orangutan
Penuh kasihan pada diriku

Dituntunnya aku pada lembar-lembar yang lain
Pada lembah, pesisir pantai, dan gua-gua rahasia
Menuju dunia yang lagi-lagi tak bisa kuingat
Gelap dalam penyap

Di ujung halaman, orangutan lain telah menanti
Menyeru kesekian kali, menunjukan hijau dahan-dahan
Juga biru langit dingin kabut

Di ketinggian langit pesawat
Sambil memandang wajah murung orangutan
Betapa inginnya aku kembali pulang

2012
 
Telah dimuat di Harian Indopos, Mei 2014

Bunga Untuk Sitor

Bagaimana aku dapat melihat sekuntum bunga?
Tidak semua tanah adalah tempatnya tumbuh
dan tak selalu aku menyadari
bahwa itu sungguh sekuntum bunga

Lebih dari sekadar percaya
Bahwa burung itu kini tengah melayang
Atau betapa dinginnya curah hujan di tangan
Sebab agaknya aku telah mulai kehilangan
apa yang pernah dilihat atau ditemukan

Andai aku tetap meyakini
Bahwa siang dan malam
adalah karena gerak bumi
            bulan dan matahari
Bagaimana kujelaskan:

Apakah bisa wangi dupa
mengantarkan doa-doa kepada para dewa?

Apakah bisa seorang ibu demam semalaman terbaring di ranjang
seketika tersembuhkan oleh sentuhan tangan putra tuhan?

Dan apakah maut akan mengizinkanku
lahir kembali di dunia yang lain, di masa yang lain
                                        lagi-lagi sebagai penyair?

Lambat laun aku seakan serupa batu-batu
berhenti membayangkan atau merasakan
                      semua yang sedang berlalu
Sebab aku tak bisa menjawab
segala yang terlanjur dipertanyakan

Karenanya, sekuntum bunga
Biarlah tumbuh bagai sekuntum bunga
Tanpa sesuatu pun yang mesti disangsikan

2011

Telah dimuat dalam antologi puisi Temu Sastrawan Indonesia IV tahun 2013

Doa Natal Keluarga Poyk

Apa firman tuhan bila membaca koran pagi ini

Seorang ibu bunuh diri
Seusai tenggelamkan balitanya
Karena si ayah tak mau serumah lagi dengannya

Sebuah desa dihanguskan
Seluruh warga dieksekusi
sementara tujuh saksi mata membisu di pengadilan
Tak berani mengungkap pelaku kejahatan

Ada iklan toko kue baru dibuka
Aneka croissant ditawar setengah harga


Sementara di halaman lain
Ratusan pengungsi melarikan diri
Laparnya memuncak sampai ke bulan mati
Disayat kesumat mimpi
Di mana batu dan tanah menjelma roti

Apa firman tuhan bila menyaksikan televisi hari ini

Nona-nona berdansa dengan gaun paling mini
Dengan gaya rambut model terkini
Bercinta dengan pangeran-pangeran negeri dongeng
Naik kereta kencana yang hanya ada di layar kaca

Kita menyaksikan surga kaum terpandang itu
Meyakin-yakinkan diri bahwa itu sungguh ada di bumi

Apa firman tuhan ketika membaca jutaan buku di perpustakaan
Sebuah dunia lain telah ditemukan
Terpencil, di sudut rasi bintang tak bernama
Dan manusia telah lebih dulu sampai di sana
Jauh dibandingkan nujuman waktu
Atau kata pertama para wahyu

Seluruh langit usai dijelajahi

Kelamnya laut selesai diselami
Manusia hidup menuai nasib sendiri-sendiri

Jadi, mengapa tuhan masih hanya berfirman dalam kitab suci
Mengapa tidak berfirman di koran-koran, di jalan-jalan
Tidak berfirman padamu atau padaku


2012

Telah dimuat dalam antologi Tuah Tara No Ate, Temu Sastrawan Indonesia III tahun 2010

Dua Tukang Pos

Dua tukang pos
saling mengirim kabar

Seorang dengan topi biru
duduk di bangku taman
menulis tentang bayang bayang dirinya
tentang balon biru seorang bocah
menunggu surat
yang tak pernah datang
menirukan sebatang pohon
dengan mimpi yang berguguran

Yang lain
berdiri di atas menara
mencoba menjadi burung merpati
terbang meninggi
berkeluh pada dingin
tak pernah jadi matahari

Dua tukang pos
saling mengirim kabar
dan angin menerbangkannya

2007

Telah dimuat di KOMPAS, Maret 2008