Jumat, 27 Maret 2015

Denpasar

Dari batas malam manakah
Asal segala cahaya di kota nun ini 

Bagai menggali sunyi
         dari sebuah cerita lama
Karangan penulis perancis
               yang dulu aku gemari

Hadir lagi di sini, dalam kabin
                                        yang lelap
Betapa abadi godaan sang maut
Sisa usia tua,
           buah penghabisan kalinya 

Berita majalah wisata
Dengan sunyi lanskap kuil atap dunia
Lagi-lagi mengenangkan waktu lalu
Terbang malam ke Amsterdam
             atau Pakistan
Tempat sajak-sajak
           melupakan masa silam
yang menyelam ke dasar ingatan 

Sementara di luar
hujan menepis mimpiku yang naïf
Tentang kuntum mawar
Yang kasihan pada rasa cintaku
Pada surat-surat
      yang tersimpan bertahun-tahun
Dan akhirnya tak lagi terbaca 

Seorang pramugari
         dengan senyum sapa biasa
Bertanya akan ke mana tujuanku:
Sudahkah bawa kamera
Guna potret para santo di Notre Dame
Membikin abadi cinta
            semusim kota Paris
Dan dongeng putri duyung
           sungai Seine?
Namun ia tak kujawab,
         kecuali senyum biasa 

Kalau diperkenankan tuhan,
            batinku padanya
Aku ingin pelesir ke masa depan
Dengan pesawat terbang malam
Yang melelapkanku
            dari segala masa silam 

Namun itu bukan juga kuasaku
Pesawat terbang merendah
Tiba di bandara yang sama
Buat penghabisan kalinya
 
2012
 
Telah dimuat di Bali Post, Maret 2015

Sanur

Sebelum sampai di Bali,
         le Mayeur dinujum mimpi:
Segala tanda hidup terdampar
         di semenanjung asing 

Camar-camar melayang
         dari lain dunia
Memburu kepiting kecil
         di celah karang
Menyelinap ke dasar bumi,
         mengendap jadi lumut
Percaya ditakdirkan
         sebagai asal muasal
lahirnya zaman yang baru 

Bagai dua karib lama
Ia saksikan seekor ikan berbagi maut 
bersama segugusan rumput laut
di sela puing kapal yang karam 

Bulan di langit
          menerangi masa kecilnya
Di hutan musim dingin Belgia
Berpuluh-puluh tahun
            jauhnya dari situ 

Bulan yang itu juga
Mengingatkan pada pesisir Italia
di mana layar dan temali
          bertaut mengenangkan
harum asin angin Asia
Atau teluk Benggala,
             teluk tanah jajahan
dengan seorang anak gembala
membagi roti dan susu kepadanya
dengan satu kuli angkut
terseok di jalan bawah menara
dalam kanvas
       yang tak kunjung terselesaikan 

Mimpi debu dikubur laut pasir
Ia seketika terjaga
        di antara gaung lonceng
Kelasi kapal menambat sauh
usai bertahan melawan badai waktu

2015

Telah dimuat di Bali Post, Maret 2015 dan Kompas, September 2015

Bayam Pasar Banjaran

Dua porsi bayam,
       asin seperti gerimis pagi hari
Hijau melayu saat tersaji
        pada piringku 

Sejak kapan ia lama dimasak
Atau dipetik petani umur berapa;
Apa peduli waktu? 

Bagaimana masa muda si lalat mati
Hinggap di sela daunnya
Gagal menyamar biji jagung
dan irisan bawang putih;
Apakah maut mau tahu? 

Suatu hari, bila kudapat
       sebuah takdir
Jadi tumbuhan bayam
di kebun tua di manapun
atau liar di jalan-jalan di manapun
Kubiakkan diriku,
       sebanyak-banyaknya
Melawan usia waktu
yang selalu pongah menatapku
Menepis kerling maut
yang mengintai hidup matiku 

Daunku yang lebat,
        dipetik para petani
Dihidang sebagai sarapan pagi, di sini 

Daunku yang hijau lebat
Dulu menaungi
      kumpulan sarang semut
Tidur berlindung di lelap akarku

2015
Telah dimuat di Bali Post, Maret 2015 dan Kompas, September 2015

Kamis, 26 Maret 2015

Rumah Kaca

Rumah kacaku
menunggu di akhir halaman. 

Di dekatnya dulu sebatang pohon,
perdu limau, semak kayu manis:
kelopak bunga
                 gugur
dalam tangkainya. 

Di seberang dinding
                      kuhibur riang
bagai murung memanggil pulang 

Di ujung pilu,
           kehilangan datang
dengan senyum gula-gula masa lalu. 

Aku menulismu kini
karena hujan hari tiada lagi:
Hujan hari
yang melambungkan angan
                             ke ranting
hujan hari dengan cermin
           bayangan semua orang
hujan hari dengan lari kecil
                          burung pagi
           lari samar yang enggan bulan 

Pohon nangka makin tinggi,
           helai daunnya gugur pergi
halaman kini
hanya ada dalam sajakku. 

2014
 
Telah dimuat di KOMPAS, Maret 2015

Biarkan Maut Menghibur si Mati

Biarkan maut menghibur si mati
bagai serdadu becermin bening air
                                Seusai tikai sunyi
              ketika malam menyeberang pulang 

Sepanjang alir sungai
seekor burung menukik naik
berpapasan dengan hari lengang
Saling menerka
                 Siapa menemu ajal kali ini
menembus riak,
menembus batas dunia dan bayangan 

Dalam kapel tua
                                      di muka altar
Seorang ibu khusuk berdoa, bertanya,
Mengapa patung maria berdiri di sini
sementara surga jauh tinggi di langit?
        Mengapa aku berduka
                  untuk putraku yang tiada?
Tetapi dua lilin di hadapannya
                              tetap menyala
Tak ada angin gaib
yang ingin memadamkannya. 

Namun hutan seketika jadi biru
                  seluruh dirinya jadi biru
Suara-suara mendekat
samar terbias hujan. 

                      Ia tatap lagi patung maria
                      Ia terkenang lagi wajah putranya. 

Biarkan maut menghibur si mati
dengan sentuhan
                           atau tatapan hampa
Sebuah batu gigil dalam riak
             tak bisa menyeberang pulang. 

2014
 
Telah dimuat di KOMPAS, Maret 2015