Rabu, 16 Desember 2015

Paskah di Benhil

Sambil boncengan naik ojek
Bersama teman aku pintas petang dini
        di bendungan hilir

Toko fotokopi langganan tutup
Warung ketupat sayur juga tutup
Jiwa kami bagai kaleng minuman bekas
                 tandas dilindas hampa
Dipungut pemulung barang loakan

Mengucap haleluya
       temanku menyeru sapa tukang parkir
Dibalas lantang juga
       dengan bau asam keringat orang miskin
dengan keluh beras mahal, cicilan rumah mahal
                       dikulum senyum pasrah bersahabat

Mungkin pasien, mungkin bukan
Menunggu angkutan umum
                  di depan rumah sakit
Tabah seperti pohon,
diterjang banjir, dikepung keluh kota
Tabah untuk bertahan tumbuh
           dalam hidup yang kikis

Hampir saja ojek menyerempet
             seorang tukang rujak keliling!
Mereka di seberang, makelar batu akik
Pedagang asinan, seketika memekik
Awas ingatkan marabahaya
          tapi tanpa daya di hadapannya

Sampailah di gereja samping sekolah
           simpang jalan danau toba
Pada temanku, aku bertanya,
Sungguh kau mau berhenti di sini?

2015

Telah dimuat dalam Antologi Dari Negeri Poci V (2015)

Jumat, 27 Maret 2015

Denpasar

Dari batas malam manakah
Asal segala cahaya di kota nun ini 

Bagai menggali sunyi
         dari sebuah cerita lama
Karangan penulis perancis
               yang dulu aku gemari

Hadir lagi di sini, dalam kabin
                                        yang lelap
Betapa abadi godaan sang maut
Sisa usia tua,
           buah penghabisan kalinya 

Berita majalah wisata
Dengan sunyi lanskap kuil atap dunia
Lagi-lagi mengenangkan waktu lalu
Terbang malam ke Amsterdam
             atau Pakistan
Tempat sajak-sajak
           melupakan masa silam
yang menyelam ke dasar ingatan 

Sementara di luar
hujan menepis mimpiku yang naïf
Tentang kuntum mawar
Yang kasihan pada rasa cintaku
Pada surat-surat
      yang tersimpan bertahun-tahun
Dan akhirnya tak lagi terbaca 

Seorang pramugari
         dengan senyum sapa biasa
Bertanya akan ke mana tujuanku:
Sudahkah bawa kamera
Guna potret para santo di Notre Dame
Membikin abadi cinta
            semusim kota Paris
Dan dongeng putri duyung
           sungai Seine?
Namun ia tak kujawab,
         kecuali senyum biasa 

Kalau diperkenankan tuhan,
            batinku padanya
Aku ingin pelesir ke masa depan
Dengan pesawat terbang malam
Yang melelapkanku
            dari segala masa silam 

Namun itu bukan juga kuasaku
Pesawat terbang merendah
Tiba di bandara yang sama
Buat penghabisan kalinya
 
2012
 
Telah dimuat di Bali Post, Maret 2015

Sanur

Sebelum sampai di Bali,
         le Mayeur dinujum mimpi:
Segala tanda hidup terdampar
         di semenanjung asing 

Camar-camar melayang
         dari lain dunia
Memburu kepiting kecil
         di celah karang
Menyelinap ke dasar bumi,
         mengendap jadi lumut
Percaya ditakdirkan
         sebagai asal muasal
lahirnya zaman yang baru 

Bagai dua karib lama
Ia saksikan seekor ikan berbagi maut 
bersama segugusan rumput laut
di sela puing kapal yang karam 

Bulan di langit
          menerangi masa kecilnya
Di hutan musim dingin Belgia
Berpuluh-puluh tahun
            jauhnya dari situ 

Bulan yang itu juga
Mengingatkan pada pesisir Italia
di mana layar dan temali
          bertaut mengenangkan
harum asin angin Asia
Atau teluk Benggala,
             teluk tanah jajahan
dengan seorang anak gembala
membagi roti dan susu kepadanya
dengan satu kuli angkut
terseok di jalan bawah menara
dalam kanvas
       yang tak kunjung terselesaikan 

Mimpi debu dikubur laut pasir
Ia seketika terjaga
        di antara gaung lonceng
Kelasi kapal menambat sauh
usai bertahan melawan badai waktu

2015

Telah dimuat di Bali Post, Maret 2015 dan Kompas, September 2015

Bayam Pasar Banjaran

Dua porsi bayam,
       asin seperti gerimis pagi hari
Hijau melayu saat tersaji
        pada piringku 

Sejak kapan ia lama dimasak
Atau dipetik petani umur berapa;
Apa peduli waktu? 

Bagaimana masa muda si lalat mati
Hinggap di sela daunnya
Gagal menyamar biji jagung
dan irisan bawang putih;
Apakah maut mau tahu? 

Suatu hari, bila kudapat
       sebuah takdir
Jadi tumbuhan bayam
di kebun tua di manapun
atau liar di jalan-jalan di manapun
Kubiakkan diriku,
       sebanyak-banyaknya
Melawan usia waktu
yang selalu pongah menatapku
Menepis kerling maut
yang mengintai hidup matiku 

Daunku yang lebat,
        dipetik para petani
Dihidang sebagai sarapan pagi, di sini 

Daunku yang hijau lebat
Dulu menaungi
      kumpulan sarang semut
Tidur berlindung di lelap akarku

2015
Telah dimuat di Bali Post, Maret 2015 dan Kompas, September 2015

Kamis, 26 Maret 2015

Rumah Kaca

Rumah kacaku
menunggu di akhir halaman. 

Di dekatnya dulu sebatang pohon,
perdu limau, semak kayu manis:
kelopak bunga
                 gugur
dalam tangkainya. 

Di seberang dinding
                      kuhibur riang
bagai murung memanggil pulang 

Di ujung pilu,
           kehilangan datang
dengan senyum gula-gula masa lalu. 

Aku menulismu kini
karena hujan hari tiada lagi:
Hujan hari
yang melambungkan angan
                             ke ranting
hujan hari dengan cermin
           bayangan semua orang
hujan hari dengan lari kecil
                          burung pagi
           lari samar yang enggan bulan 

Pohon nangka makin tinggi,
           helai daunnya gugur pergi
halaman kini
hanya ada dalam sajakku. 

2014
 
Telah dimuat di KOMPAS, Maret 2015

Biarkan Maut Menghibur si Mati

Biarkan maut menghibur si mati
bagai serdadu becermin bening air
                                Seusai tikai sunyi
              ketika malam menyeberang pulang 

Sepanjang alir sungai
seekor burung menukik naik
berpapasan dengan hari lengang
Saling menerka
                 Siapa menemu ajal kali ini
menembus riak,
menembus batas dunia dan bayangan 

Dalam kapel tua
                                      di muka altar
Seorang ibu khusuk berdoa, bertanya,
Mengapa patung maria berdiri di sini
sementara surga jauh tinggi di langit?
        Mengapa aku berduka
                  untuk putraku yang tiada?
Tetapi dua lilin di hadapannya
                              tetap menyala
Tak ada angin gaib
yang ingin memadamkannya. 

Namun hutan seketika jadi biru
                  seluruh dirinya jadi biru
Suara-suara mendekat
samar terbias hujan. 

                      Ia tatap lagi patung maria
                      Ia terkenang lagi wajah putranya. 

Biarkan maut menghibur si mati
dengan sentuhan
                           atau tatapan hampa
Sebuah batu gigil dalam riak
             tak bisa menyeberang pulang. 

2014
 
Telah dimuat di KOMPAS, Maret 2015

Kamis, 26 Februari 2015

Sajak Pos

Siapa yang tahu surat ini dari siapa
Tak tertulis nama
atau pun gambar sebuah peta. 

Ia diletakkan di ujung meja
dan setiap temali, amplop
juga timbangan, bertanya
             itu untuk siapa? 

Cahaya yang menyentuh bangku
memantulkan bayang-bayang
sebuah kota kelabu
dengan tawa anak-anak sekolah
langkah pilu seorang tua
dan gerimis di jalan-jalan
yang lengang dari hampa

Di manakah kota itu
di manakah bayang-bayang itu
yang kini tertutupi taplak meja? 

Mungkin surat itu
berasal dari situ.
Terbang melalui cermin cahaya
menembus dinding dan jendela
dan mengabarkan berita
                             dari negeri
yang bukan milik siapa-siapa

Seandainya di sana
tertulis sebuah nama
tak akan ada yang bertanya
surat itu dari mana. 

Setiap kali setitik debu hinggap
pada amplop putih itu
seekor ngengat
yang terbang berputar
                             terjatuh
menyentuh lantai dingin
lalu tersapu angin
jadi debu yang lain 

Dan semua benda kemudian bertanya,
                                untuk apa ia ditulis?

2009
 
Telah dimuat dalam Antologi Festival Ubud Writers and Readers Festival 2010
Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Kuil Taman

Sebatang pohon ara, empat pina
                           tiga pohon abu
Inilah kuil taman puingmu 

Segala yang silam, dirimu yang lalu
terperangkap dalam liang gua
pada sebuah buku yang terbuka
                             di perpustakaanmu

Dulu pernah ada semak buah beri
di mana seekor musang menyelinap
bersembunyi dari tangan mungil sang waktu
                      tubuhnya ringan menyelusup
jauh hingga ke pucuk bayang sehelai daun
Dan pada pukul enam sore
semuanya lindap bagai kata-katamu
bagai cahaya di belantara raya
tersamar pekik liar burungburung malam

Sebelum dini hari di bawah mimpi pohon kastanye
siapa dari kalian yang menyamar bajak laut arabia
menghunus belati kayu, membuka semua pintu
mencari jalan rahasia menuju dongeng yang lain: 

Kisah tentang sebuah kota di mana benda-benda
selalu bercerita darimana muasal mereka 

Atau tentang benua yang perlahan tenggelam
dan orangorang terlambat menuliskan namanya di sana 

Tapi seekor kucing yang lelap di teras rumah
sekilas tampak terjaga, memandang kalian
mengeong seakan tengah mengigau
Cakarnya yang tumpul
tadinya membias cahaya bulan yang entah 

Kini tak ada ayunan di kuil taman puingmu
tak ada sarang burung yang terjatuh
menyimpan telur-telur yang sebentar akan menetas
 
Telah dimuat di Kompas, Maret 2010

Juanda

Angin bulan januari
Menuntunku sesat
Lagi-lagi dalam linang waktu

Menunggu engkau di situ
Dengan kerudung biru, merah jambu
Atau mungkin hijau kemarau 

Tataplah diriku, sekian lampau lalu
Gelisah memintas hari
Mencari semi kenangan sepanjang musim
Dan duka cita yang gugur berulang dalam kecupan 

Keretamu lewat berangkat
Di stasiun, peron bergegas senyap
Menemani rasa hampaku yang sia-sia 

Tataplah diriku, sisa-sisa keriangan
Yang disemai badai bulan januari
Merekahkan harapan, yang kutahu
Mungkin tak akan bersemi lama

2014

Telah dimuat di Harian Indopos, Maret 2014

Kalau Marco Pulang

Kalau marco pulang, dia akan lihat:
Sekarang pohonan rindang di jalan-jalan weltevreden
Pesepeda mengayuh sisa waktu sebelum senja tiba lagi 

Ya, pohonan merindang di weltevreden
Tempat dulu tuan tanpa malu memandang
Pada gadis yang baru datang dari pasar
Malam kemudian,
Jadilah ia nyai yang kesekian 

Angin sepoi meniup gang-gang debu weltevreden
Tempat dulu kuli angkut, petani miskin
Pencuri, rampok, dan para cendikia
Ditahan bertahun-tahun
Sama rata, sama rasa

Kalau marco pulang, dia akan lihat:
Pesawat melintas di langit weltevreden
Melayangkan mimpi penyanyi jalanan
Melantun dari trem ke kereta
Dari bus sesak ke taman kota
Lari dari kejaran polisi juga lilitan piutang kehidupan 

Saudaraku, matahari masih sama di weltevreden
Terik menyengat mimpi-mimpi kami 

Di bawah pohon rindang sana
Anak remaja pacaran, curi-curi ciuman
 
2014
 
Telah dimuat dalam Antologi Negeri Poci 2014 'Negeri Langit'
Terinspirasi dari kisah Mas Marco Kartodikromo