dan mendengar kembali ucap pemandu wisata kami:
“Di sini iman seorang ibu diuji
berdiri tengadah ke langit dan orang-orang menguburnya
sebagai pagar dalam biara.”
Dekat simpang sana kusentuh dinding penuh lumut,
“Di abad kesebelas, seorang ayah yang gelisah
atas pesta riuh lantai bawah
terjun dari menara
membujuk diri jadi merpati tanda perdamaian tiada kasih.”
Dua puluh depa berjalan, kujumpai:
lorong buruh pabrik anggur, pintu rahasia pinggir kanal
berulang mengenang janji pagi yang ingkar,
“Lihatlah di seberang, taman bunga dara perawan
dipetik sang waktu yang tak ingin lagi abadi.”
Menyaksikan kapel di atas bukit
buah derma upah wanita penghibur
langganan kelasi tanah jauh:
sebagian mungkin pulang dari hindia
atau benua temuan baru
yang perlahan melinang pada peta
dengan wangi lapuk cengkeh dan lada
Kota-kota bagai rumah duka
Satu manusia melipur tanpa apa
Satu bayang manusia mewujud
lalu dilupa
Sementara tanya dan langkah
saling menyusul silang arah
Adakah nun depan stasiun
di akhir wisata, telah kutitipkan
sedikit tip tanda jasa?
Aku tak ingat. Sungguh aku tak ingat.
2019
Puisi ini telah dimuat di BasaBasi.co pada 5 November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar