meluncur bergulingan
Sebelum roda seorang tukang becak
Menggilasnya pecah berserak
Becak tua
langganan pedagang pasar lama
Kelupas
catnya tersebab basuhan hujan garamJuga keringat tangan para pelancong
yang tak henti menunjuk bertanya:
Pada gudang begitu kumuh
Rumah berhantu separuh rubuh
Dan timbunan sampah wihara sebelah
Cilame
seketika bagai museum terlupa;
Ibarat pencuri,
sembunyi dari kejaran waktuMenyelinap di gang-gang kecil
Menyamar tikus tanah, coro yang lemah
Atau ratap sedu seorang kuli bocah;
lalai abainya disesali berkali-kali
Nanas-nanas
dikupas sekenanya
Seperti
kucing penuh kutuMelompat dari keranjang ke keranjang
Menukik naik ke atap, mengincar remah ikan goreng
Lalu hinggap dalam catatan perjalanan;
Sekilas tinjauan mata
Dari satu wisatawan, atau wartawan amatiran
Seorang
kakek penunggu warung
Melambai
pelan padamuSambil menawarkan obat mujarab
Buat halau kepikunan usia renta
Tapi inilah
cilame sekarang:
Sisa aroma
kecap kedelai hitamYang meresap ke celah dinding
Menyusup hingga ke masa depan
Di mana tak seorang pun kuasa mengingatnya
2014
Telah dimuat di Koran Tempo, November 2014