Selasa, 11 November 2014

Wangaya

Bilamana maut dan aku
Berjalan bersisian di lorong-lorong rumah sakit
Perawat melintas lewat, menyembunyikan entah siapa
Di balik selimut pucat, di atas kereta mati itu

Dokter bertanya kabar
Tentang sekuntum bunga di kamar
Yang mengingatkannya pada biru laut kekasih gundah hati
Andai saja, ujarnya, rekahnya lebih semi dari usianya

Kukisahkan padanya
Tentang hujan yang semalaman menggenangi mimpi-mimpiku
Menenggelamkan setiap kenangan-kenanganku
Jauh hingga ke lubuk samudera
Di mana seekor gurita piatu menanti ajal di karang-karang

Dokter hanya tersenyum
Dijanjikannya padaku menyusur taman senja nanti
Seekor anak burung baru terlahir
Dan aku boleh beri ia nama

Di ruang tunggu,
Ada balita tersenyum padaku
Menggenggam tanganku, ingin riang hati denganku
Mainan di tangannya berputar
Seketika menjauhkanku ke masa yang dulu:
Pada ayunan di halaman belakang
Pada mawar melayu di kamar ibu
Dan sebuah gelas susu yang selalu tumpah dari tanganku

Gamang oleh nujum ingatan
Aku penuhi sukacitanya, berlarian di lorong-lorong
Mengejar laba-laba yang menuai sunyi waktu
Di antara jendela dan pintu kelabu

Di senja hari
Dokter menunjukan sebuah sarang di pucuk ranting
Aku menatap, seekor anak burung menanti induknya
Kuberi ia nama, seperti namaku

 2013
 
Telah dimuat dalam antologi tentang Denpasar, berjudul 'Dendang Denpasar, Nyiur Sanur', dikuratori Nyoman Darma Putra (2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar